This is an example of a HTML caption with a link.

[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan

0 komentar

  
[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan

A. Pendahuluan
Filsafat Pendidikan IslamSetiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal. 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda .
Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.
B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis.
Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: (1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar; (2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong; (3) Ada yang di didik atau si terdidik; dan (4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah.
Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :
  1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
  2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
  3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
  1. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
  2. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
  3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
  4. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
  1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
  3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
  4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
  5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :
Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
F. Penutup
Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.
Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
M. Ihsan Dacholfany adalah mahasiswa ISID 1997 – Staf Pengajar PP Gontor – Perpustakaan Darussalam)

Pengertian Mawaris

0 komentar

Pengertian Mawaris

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihak-pihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari pada bab ini.
A. Pengertian Mawaris
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan
orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah
3. Bapak
4. Kakak dari bapak dan terus keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 – 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, dan bapak ).
Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 - 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung )
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
B. Dalil Tentang Mawaris
1. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Artinya:”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )
Selanjutnya lihat pula Qs. An Nissa ayat 11, 12, dan 176.
2. Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.
Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.
Artinya:” Sesungguhnya hak wali adalah untuk orang yang memerdekakan.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”( HR.Abu Daud )
C. Ketentuan Hukum Islam Tentang Mawaris
Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikatagorikan menjadi 2 golongan,yaitu sebagai berikut :
1. Zawil Furud
Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.
A. Ahli waris yang mendapat ½ , yaitu sebagai berikut:
1). Anak pempuan tunggal
2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada
5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki
B. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
C. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
D. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada
( diqiyaskan kepada anak perempuan )
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )
4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
E. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau yang seibu
2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu atau anak
F. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau seibu
2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki
3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu
4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada
6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian
2. Asabah
Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
A. Asabah binafsih
Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki – laki
3. Bapak
4. Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak
5. Saudara laki - laki sekandung
6. Saudara laki - laki sebapak
7. Anak saudara laki - laki kandung
8. Anak laki - laki kandung
9. Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak
12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak
Asabah - asabah tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut diatas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
Artinya:”Allah telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )
B. Asabah Bilgair
Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat dua kali lipat perempuan
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
3. Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 )
C. Asabah Ma’algair
Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
2. Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).
3.Hijab dan Mahjub
Hijab ( penghalang ), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.
Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak
2. Hijab nuqsan ( mengurangi ), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2
Mahjub ( terhalang ), ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang
4. Batalnya Hak Menerima Waris
Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.
1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga sebaliknya
2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam
3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )
4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )
D. Ketentuan Tentang Harta Sebelum Pembagian Warisan
Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut:
1. Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah
2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih dulu
3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah selesai dimakamkan
4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan lebih dulu, asalkan tidak melebihi⅓ harta peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di antara mereka
5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan. Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah haji.
Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
E. Perhitungan Dalam Pembagian Warisan
Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama - tama harus dicari KPK ( kelipatan persekutuan terkecil ) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu faraid, KPK disebut asal masalah.
Asal masalah dalam ilmu faraid ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.
Contoh kasus 1.
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing - masing ahli waris?
Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )
Ibu = 1/6 ( karena ada anak )
Suami = 1/4 ( karena ada anak )
Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )
Asal masalah (KPK) = 12
Bapak = 1/6 * 12 = 2
Ibu = 1/6 * 12 = 2
Suami = 1/4 * 12 = 3
Jumlah = 7
Sisa ( bagian anak ) = 12 – 7 = 5
Bagian bapak = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian ibu = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian suami = 3/12*Rp 1.800.000 = Rp 450.000
Bagian anak = 5/12*Rp 1.800.000 = Rp 750.000
Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).
Bagian seorang anak laki-laki =2/5 * Rp750.000 = Rp300.000
Bagian seorang anak perempuan =1/5 * Rp750.000 = Rp150.000
Didalam praktek pelaksanaan pembagian harta warisan, sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat.
Sebagaimana contoh 1, sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
Contoh kasus 2.
A. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami, anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan sekandung, masing-masing mendapat bagian 3-6-2-1. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
_, Suami ( 1/4 ) = 3/12 * Rp 12.000.000 = Rp 3.000.000
_, Anak perempuan ( 1/2 ) = 6/12 * Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000
_, Cucu perempuan ( 1/6 ) = 2/12 * Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000
_, Saudara perempuan (1/2)= 1/12 * Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000
B. Seseorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000 dan ahli waris terdiri dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2, pembagiannya adalah P:
_, Ibu (1/6) = 1/6 * Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000
_, Suami (1/2) = 3/6 * Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000
_, 2 Saudara (1/3) = 2/6 * Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000
C. Si pulan meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai Rp 14.400.000 dan meninggalkan ahli waris terdiri dari istri, cucu perempuan serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 12, 4, pembagian sebagai berikut:
_, Istri (1/8) = 3/24 * Rp 14.400.000 = Rp 1.800.000
_, Cucu perempuan (1/2) = 12/24 * Rp 14.400.000= Rp 7.200.000
_, Ibu (1/6) = 4/24 * Rp 14.400.000 = Rp 2.400.000
Keterangan sisa harta Rp 3.000.000 diberikan kepada baitul mal.
Hal-hal yang harus kita perhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut:
1. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang ( mahjub ) atau tidak ( gairu mahjub )
2. Kita harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud atau asabah. Jika ternyata ada asabah lebih dari 1 kelompok maka asabah yang urutannya lebih besar atau jauh supaya mengalah, dan turun derajatnya menjadi ahli waris zawil furud.
F. Hukum Adat Tentang Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam
Pembagian harta warisan menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kerukunan serta keadilan antara para ahli waris. Masalah pihak yang berhak memperoleh warisan, biasanya diutamakan mereka yang paling dekat dengan si jenazah, bahkan secara adat biasanya anak angkatpun memperoleh warisan karena kedekatannya itu.
Menurut hukum adat, harta peninggalan itu terdiri dari:
1. Harta peninggalan yang tidak dibagi( contohnya harta pusaka menurut adat Minang Kabau )
2. Harta benda yang dibagi, yaitu:
a. Harta yang diberikan orang tua pada waktu mereka masih hidup. Dalam hal ini ayah membagi-bagikan harta kekayaannya kepada anak - anaknya atas dasar persamaan hak.
b. Harta yang diwariskan sewaktu orang tua masih hidup, tetapi penyerahannya dilakukan setelah ayah atau ibu wafat.
Pembagian harta warisan secara adat di beberapa daerah bermacam-macam bentuknya sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing. Contonya di Aceh, pekarangan rumah peninggalan harus diberikan kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di daerah Sumatra utara ( Batak ), pekarangan rumah harus diberikan kepada anak laki-laki tertua atau termuda, sedangkan benda-benda keramat untuk anak laki-laki dan benda-benda perhiasan untuk perempuan.
1. Hukum Adat Yang Sesuai Dengan Hukum Islam
Sebagaiman telah disebutkan diatas, bahwa hukum waris yang diundangkan oleh islam terdapat 2 macam kebaikan:
a. Islam mengikut sertakan kaum wanita sebagai ahli waris sebagaimana kaum pria
b. Islam membagi harta warisan kepada segenap ahliu waris secara demokratis dan adil.
Dalam pembagian harta, biasanya berpijak pada dasar pemikiran yang konkret, yakni memandang kepada wujud harta yang di tinggalkan sehingga harta peninggalan itu tidak diperhitungkan secara rinci sesuai aturan agama. Pembagian dilakukan menurut keadaan bendanya dengan pembagian yang dipandang wajar misalnya ada yang memperoleh rumah, sawah, mobil, dan gedung.
Menurut hukum adat, penbagian harta warisan dilakukan setelah dibayarkan hutang-hutang dan sangkut paut lainnya dari orang yang meninggal. Oleh karena itu, hukum adat tersebut diatas mempunyai kemiripan, dan ketentuannya yang di benarkan oleh hukum waris menurut ajaran agama islam.
2. Hukum Adat Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
Adapun hukum adat yang tidak sesuai dengan ajaran islan adalah apabila pembagiannya hanya berdasarkan nafsu atau ketidakadilan, seperti halnya hanya memiih-milih atau terpaksa memberikan warisan karena adanya ancaman dari pihak ahli waris. Salah satu contoh yang tidak sesuai dengan hukum islam, antara lain anak angkat mendapat warisan, anak perempuan lebih banyak mendapatkan harta warisan dari anak-anak laki-laki, atau pembagian harta warisan tanpa ada musyawarah ( mufakat ) lebih dulu.
G. Hikmah Mawaris
Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut islam antara lain sebagai berikut:
1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.
2. Dapat menegakan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.
3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksakan ketentuan-ketentuan dari Allah swt. Yang terdapat dalam Al Qur’an.
4. Menghindarkan perpecahan antar keluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfa’at agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.
5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si jenazah.
6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak - anak yang di tinggalkan itu akan lebih terjamin.
7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.
8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.
Rangkuman
1. Mawaris adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta warisan. Mawaris sering disebut ilmu Fara’id karena mempelajari pembagian-pembagian penerima yang sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi ketentuan.
2. Ahli waris zawil furud adalah para ahli waris yang bagian-bagian penerimaannya sudah ditentukan. Ahli waris asabah adalah para ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Hijab atau penghalang adalah ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak menerima atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang. Mahjub atau Terhalang adalah ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat sehingga tidak dapat menerima atau menerima, tetapi berkurang bagiannya.
3. Sekalipun mempunyai hak menerima waris dari seseorang yang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena tidak beragama islam, murtad dari agama islam, membunuh, atau menjadi hamba.
4. Pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu , zakat, hutang, biaya perawatan, membayar wasiat, dan memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan.


Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyah

0 komentar

Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyah

A. Pengeritan Aqidah

a. Pengertian Aqidah secara bahasa (etimology)

Kata aqidah diambil dari kata dasar al-aqd yaitu al-Rabith (ikatan), al-Ibram (pengesahan), al-Ahkam (penguatan), al-Tawuts (menjadi kokoh, kuat), al-syadd bi quwwah (pengikatan dengan kuat), dan al-Itsbat (penetapan).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. [1]

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar atau pun salah.

b. Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Aqidah menurut istilah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Pengertian aqidah menurut hasan al-Banna

"Aqa'id bentuk jamak rai aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan kekntentraman jiwa yang tidak bercampur sedikit dengan keraguan-raguan". [2]

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:

"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. [3]


Untuk lebih memahami definisi diatas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan sebagai berikut:

1. Ilmu terbagi dua:

Pertama ilmu dharuri yaitu Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil. Misalnya apabila kita melihat tali di hadapan mata, kita tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu ada.

Kedua adalah ilmu nazhari yaitu. Ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian.
Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama, memerlukan dalil bagi orang-orang yang belum mengetahui teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal tidak memerlukan lagi dalil. Misalnya kalau sebuah roti dipotong sepertiganya maka yang du pertiganya tentu lebih banyak dari sepertiga, hal itu tentu sudah diketahui oleh umum bahkan anak kecil sekalipun. Hal seperti ini disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pemuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian.

2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, musalnya, setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa membuktikan adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenarnya.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami beberapa tahap.

Pertama: Syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menolaknya.
Kedua: Zhan. Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkannya.

Ketiga: Ghalabatu al-Zhan: cenderung labih menguatkan salah satu karena sudah meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.

4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.

5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.

6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil. Misalnya:

- Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat informasi tentang Negara tersebut dari seseorang yang dikenal tidak pernah bohong.

- Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak tertutup kemungkinan dia akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubhat (dalil-dalil yang menolak informasi tersebut).

- Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya, sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil.

- Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinanya semakin bertambah, dan segala keraguannya akan hilang, bahkan dia tidak mungkin ragu lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya sekalipun semua orang menolaknya.

- Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan situasi kondisinya bertambahlah pengalaman dan pengetahuanya tentang negeri yang diyakininya itu. [4]

Dalam pengertian lain aqidah berarti pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan, dan tentang apa-apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Pemikiran menyeluruh inilah yang dapat menguraikan ‘uqdah al-kubra’ (permasalahan besar) pada diri manusia, yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan; siapa yang menciptakan alam semesta dari ketiadaannya? Untuk apa semua itu diciptakan? Dan ke mana semua itu akan kembali (berakhir)? [5]


B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah

Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:

1. Ilahiyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, ad'al Alah dan lain-lain

2. Nubuwat
Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Alah, mu'jizat, dan lain sebagainya.

3. Ruhaniyat
Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.

4. Sam'iyyat
Yaitu pembahahasan tentang segaa sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'I (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lainnya.


C. Aqidah Islamiyah

Aqidah Islamiyah telah memcahkan ‘uqdah al-kubra’ (perkara besar) pada manusia. Aqidah Islam juga memberikan jawaban aras pertanyaan-pertanyaan manusia, sebab Islam telah menjelaskan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan (makhluk) bagi pencipta (al-Kahliq) yaitu Allah swt, dan bahwasannya setelah kehidupan ini akan ada hari kiamat. Hubungan antara kahidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia adalah ketundukan manusia terhadap printah-perintah Allah dan laranga-laranganNya sedangkan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sesudah kehidupan dunia adalah adanya Hari Kiamat, yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Al-Quran telah menetapkan rukun-rukun aqidah ini.


"Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", (al-Baqarah, 285)


Didalam hadits yang panjang, Jibril as pernah bertanya kepada rasulullah saw,” Beritahukanlah kepadaku tentang iman!” Lalu Rasul saw menjawab, “Iman itu adlah percaya kepada (adanya) Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepadaal-qadr (takdir), baik dan buruknya berasal dari Allah swt”. Jibril berkata, “Engkau benar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Nasa’i).
Aqidah Islam mempunyai kekhususan-kekhususan diantaranya adalah:

1. Aqidah Islam dibangun berlandaskan akal. Selama kita beriman kepada Allah, al-quran, dan kepada kenabian Mihammad saw dengan jalan akal, maka wajib bagi kita mengimani segala hal yang diberitakan al-Quran kepada kita. Sama saja apakah yang diberitakan itu dapat dijabgkau oleh akal dan panca indera manusia, atau berupa perkara-perkara ghaib yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh [anca indera manusia seperti hari akhir, malaikat, dan perkara-perkara ghaib lainnya.

2. Aqidah Islam sesuai dengan fitrah manusia. Beragama (al-tadayun) merupakan hal yang fitri pada diri manusia. Perwujudan dari naluri beragama ini adalah kenyatan bahwa dirinya penuh kelemahan, kekurangan, dan serva membutuhkan terhadap sesuatu yang lain. Kemudian aqidah Islan hadir untuk memberikan pemenuhan terjadap naluri beragama yang ada pada diri manusia, dan membimbing mausia untuk mendapatkan kebenaran akan adanya Pencipta Yang Maha Kuasa. Dimana, semua makhluk yang ada, keberadaanNya sendiri tidak berhantung pada siapapun.

3. Aqidah Islam komprehensif (menyeluruh). Aqidah Islam telah menjawab seluruh pertanyaan manusia tentang alam semesta, manusia, kehidupan, dan menetapkan bahwa semuanya itu adalah makhluk. Aqidah Islam juga menetapkan bahwa sebelum kehidupan dunia ada Allah swt, sedangakn setelah kehidupan dunia adakan ada hari kiamat. Aqidah Islam juga menetapkan bahwa hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia adalah keterikatan manusia dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt. Sedangakn hubungan antara kehidupan dunia ini dengan kehidupan sesudahnya adalah perhitungan, surga dan neraka.

Aqidah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Diantaranya;

1. Aqidah Islam telah memuaskan akal dan memberikan ketenangan pada jiwa manusia. Sebab, aqidah Islam telah menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban yang memuaskan dan shahih.

2. Aqidah Islam telah menciptakan keteguhan dan keberanian pada diri seorang muslim. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

لن تموت نفس حتى تستوفى أجلها ورزقها وما قدرلها

Tidaklah mati seseorang sampai ditetapkan ajalnya, rezekinya dan apa-apa yang menjadi takdirnya..

3. Aqidah Islam akan membentuk ketakwaan pada diri seorang muslim. Setelah seorang muslim menyadari hubungannya dengan Allah, dan bahwa Allah swt akan menghisab semua pernuatannya pada hari kiamat, maka ia akan menghindarkan diri dari perbuatan yang diharamkan serta melakukan perbuatan baik dan yang dihalalkan. Sebab, ia telah meyakini bahwa hari perhitungan pasti akan datang.

Aqidah juga mempunyai peranan penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, yaitu:

1. Masyarakat akan beriman kepada Rabb Yang Esa, agama yang satu serta tunduk pada aturan yang satu.
2. Akan mewujudkan masyarakat yang saling melengkapi, saling menjamin seperti halnya satu tubuh, satu-kesatuan pemikiran dan perasaan. Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal persahabatan dan kasih saying adalah ibarat satu utbuh. Bila salah satu anggota tubuh terserang sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut terserang demam dan susah tidur.
3. akan tercipta ikatan ideologis yang kaut serta diantara individu-individu anggota masyarakat, yakni ikatan ukhwah Islamiyah.

PENUTUP

a. Kesimpulan

Dari pemsbahasan di atas dapat kitarik kesimpulan bahwa aqidah secara bahasa diambil dari kata الأقد yang mempunyai arti ikatan, pengesahan, penguatan dan penetapan. Maksudnya adalah apa yang menjadi ketetapan hati seseorang secara yakin. Sedangkan pengertian aqidah secara istilah ada beberapa pendapat yang mendefinisikannya. Salah satu diantaranya adalah al-Jazairy yang mengatakan bahwa aqidah merupakan sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Kita sebagai umat Islam hendaknya bersyukur karena pertanyaan-pertanyaan yang sering mengusik hati manusia yang berakal dapat telah dijawab oleh Aqidah kita yaitu Aqidah Islamiyah yang sekaligus menjadi pegangan kita untuk menjalani hidup serta mengabdi kepada Allah saw.
b. Penutup
Demikianlah pembahasan yang dapat kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hadits Aqidah yang berjudul : "Pengertian Aqidah".
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan serta kejanggalan, oleh karena itu kritik serta saran yang membangun sangat kami harapkan guna menambah kesempurnaan kita dalam menambah wawasan serta dalam rangka menimba ilmu.


[1] Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: bab: ‘Aqada
[2] Al-Banna, hal. 445
[3] al-Jazairy, Akidah al-Mukmin,1978. hal. 21
[4] Drs. Yunahar Ilyas, Lc Kuliah Aqidah Islam"LPPI
[5] Lihat Muhammad Husaim Abdullah “Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam” Pustaka Thariqatul Izzah, hal 59.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husaim “Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam” Pustaka Thariqatul Izzah. 2002
Al-Banna, Hasan, Majmu'atu ar-Rasail, Muassasah al-Risalah Beirut.
al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Maktabah Kulliyat. Al-azhariyah. Cairo. 1978
Ilyas , Yunahar, Lc Kuliah Aqidah Islam", LPPI ,Yogyakarta. 1992
Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith
http://abuamincepu.wordpress.com/category/definisiaqidah/
sumber

Do'a Sholat Dhuha

0 komentar

Do'a Sholat DhuhaYang di maksud sholat dhuha adalah sholat sunat yang di kerjakan ketika pagi hari pada saat matahari sedang naik. Shalat dhuha ini mempunyai kedudukan dan keutamaan yang tinggi sehingga salah suatu hadis yang di terangkan oleh imam syaukani berkata bahwa dua rakaat shalat dhuha dapat menggantikan 360 kali sedekah.
Sholat dhuha merupakan salah satu sholat yang penting dan secara khusus mempunyai arti sholat yang berhubungan dengan permohonan limpahan anugrah rizqi. Adapun doa setelah shalat dhuha adalah sebagai berikut:

Bacaan Doa Shalat Dhuha
اَللّهُمَّ اِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاءُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَائُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ اَللّهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقِى فِى السَّمَاءِ فَاَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَاَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسِّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِى مَااَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
Allaahumma innadh dhuhaa’a dhuhaa’uka, wal bahaa’a bahaa’uka wal-jamaala jamaaluka wal quwwata quwwatuka wal qudrata qudratuka wal-’ishmata ishmatuk. Allaahumma in kaana rizqii fis-samaa’i fa anzilhu, wa in kaana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kaana mu’assaran fayassirhu, wa in kaana haraaman fathahhirhu, wa in kaana ba’iidan faqarribu, bi haqqi dhuhaa’ika wa bahaa’ika wa jamaalika wa quwwatuka wa qudratika, wa aatinii maa aataita ‘ibadakash-shaalihiin
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya waktu dluhaa adalah waktu dluhaa-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, kebagusan adalah kebagusan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah, apabila rizqi kami di atas langit, turunkanlah, bila dalam bumi, keluarkanlah, bila sukar, mudahkanlah, bila haram, sucikanlah, bila jauh, dekatkanlah, dengan hak waktu dluhaa, keagungan, kebagusan, kekuatan dan kekuasaan-Mu. Berilah kepada kami apa-apa yang telah Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih-shalih.”

 
Pendidikan Agama Islam © 2011 Theme made with the special support of Maiahost for their cheap WordPress hosting services and free support.