Model-model pembelajaran alternatif bagi pendidikan islam


Pengembangan Model-Model Pembelajaran Alternatif bagi Pendidikan Islam (Suatu Alternatif Solusi Permasalahan Pembelajaran Agama Islam)




Dalam mengkaji pendidikan agama Islam yang dapat meningkatkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta belajar, tidak dapat dilepaskan dengan unsur-unsur seperti: guru, siswa, kurikulum, lingkungan, serta model pembelajaran yang dipilih oleh guru. Aspek-aspek tersebut akan sangat menentukan hasil belajar yang diharapkan baik yang berupa dampak pengajaran maupun dampak penggiringnya.

Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola pembelajaran tertentu. Model-model pembelajaran berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan peserta didik. Guru yang profesional dituntut mampu pengembangkan model perbelajaran, baik teoritik maupun praktek, yang meliputi aspek-aspek, konsep, prinsip, dan teknik. Memilih model yang tepat merupakan persyaratan untuk membantu siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Model pembelajaran berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan belajar siswa. Jika tenaga pengajar menggunakan model pembelajaran sebagai suatu strategi mengajar dalam pembelajaran, hendaknya memperhatikan lima aspek kunci dari pembelajaran yang efektif, yaitu: (1) kejelasan, (2) variasi, (3) orientasi tugas, (4) keterlibatan siswa dalam belajar, dan (5) pencapaian kesuksesan yang tinggi.


A. Pendahuluan
Era globalisasi mambawa dampak yang signifikan terhadap perubahan-perubahan tata nilai kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk perubahan tata nilai tersebut seperti diungkapkan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 adalah “lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis, materialistis dan hedonistis” (Rahmat, 1991: 71). Keadaaan ini berlawanan dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Kondisi objektif terlihat pada berbagai data hasil penelitian, seperti yang kemukakan oleh (Muhaimin 2002, Nurdin, 2002, Salamah, 2004) terungkap bahwa proses belajar mengajar PAI khususnya sekolah-sekolah menengah (SMA) belum dilaksanakan secara optimal, sehingga perannya sebagai mata pelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia belum dapat dicapai secara efektif. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya peranan dan efektifitas pendidikan agama Islam dalam membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia adalah:

1. Pendidikan agama Islam selama ini dilaksanakan menggunakan pendekatan pembelajaran yang kurang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
2. Materi pembelajaran PAI yang lebih banyak bersifat teori, terpisah-pisah, terisolasi atau kurang terkait dengan mata pelajaran lain dan bahkan antar sub mata pelajaran PAI itu sendiri, yakni antara unsur Alquran, Keimanan, Akhlak, Fiqih dan Sejarah Islam (Tarikh) yang disajikan sendiri-sendiri.
3. Model pembelajarannya bersifat konvensional yakni lebih menekankan pada pengayaan pengetahuan (kognitif pada tingkat yang rendah) dari pada pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psiko-motorik). Sehingga pendidikan agama Islam yang bertujuan untuk membentuk siswa yang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama Islam serta mampu mengaplikasikan dalam bentuk akhlak mulia belum dapat digapai. (Salamah: Hasil Penelitian Tesis 2004).

Upaya untuk mengkaji kembali pelaksanaan pembelajaran PAI di lembaga pendidikan formal terutama, semakin mendesak apabila dikaitkan dengan kenyataan di lapangan yakni seperti; (1) adanya berbagai krisis kepercayaan, yang ditandai munculnya ketegangan, konflik di beberapa daerah. (2) Krisis akhlak yang tandai dengan semakin banyaknya kejahatan, baik berupa tindak kekerasan seperti; tawuran, penyalahgunaan narkona dan lain-lain yang selalu meningkat setiap tahunnya. (Isnia, U. Output Pendidikan Mengancam Masa Depan (Republika, Online 24 Juli 2002, tersedia: http://www.republika.co.id/cetak/html 2000).

Melalui pendidikan agama Islam yang diselenggarakan di sekolah dengan baik, diharapkan para siswa akan dapat menghindari sifat-sifat tercela tersebut. Peran pendidikan agama Islam diharapkan dapat mengatasi dampak negatif tersebut dengan menggunakan berbagai model dan strategi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Dalam mengkaji pendidikan agama Islam yang dapat meningkatkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta belajar tidak dapat dilepaskan dengan unsur-unsur seperti: guru, siswa, kurikulum, lingkungan, serta model pembelajaran yang dipilih oleh guru. Aspek-aspek tersebut akan sangat menentukan hasil belajar yang diharapkan baik yang berupa dampak pengajaran maupun dampak penggiringnya. Aspek-aspek tersebut dapat dipetakan dalam bentuk bagan berikut ini:


Bagan 1. Aspek-aspek yang terlibat dalam pembelajaran bidang studi PAI untuk meningkatkan kecerdesan peserta didik

Upaya untuk mengoptimalkan aspek-aspek yang berpengaruh dalam pembela-jaran tersebut, salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah misalnya dengan melaksanalan pembaharuan kurikulukum, yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas tahun 2002 mengungkapkan bahwa ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi adalah: (1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi apa saja yang memenuhi unsur edukatif; (5) Penilaian yang menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (Penge-mbangan Kompetensi Lintas Kurikulum. [Online] Tersedia: http://www.puskur.or.id/ kurikulum.shtml 2002).

Kebijakan tersebut memberikan peluang dan sekaligus tantangang bagi guru-guru PAI untuk lebih memutakhirkan pembelajarannya sesuai dengan tuntutan perkembangan. Pemikiran untuk mengembangkan dan menyegarkan model-model pembelajaran PAI yang tepat merupakan hal yang sangat urgen. Tulisan sederhana ini mencoba mengajukan beberapa model pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk diujicobakan dan dikembangkan terutama pada lembaga-lembaga pendidikan formal.

B. Model-Model Pembelajaran yang dapat Meningkatkan Kecerdasan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik

1. Pengertian Model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memper-hatikan pola pembelajaran tertentu, hal ini sesuai dengan pendapat Briggs (1978:23) yang menjelaskan model adalah "seperangkat prosedur dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses" dengan demikian model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.

Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran sehingga menunjukkan adanya perolehan, penguasaan, hasil, proses atau fungsi belajar bagi si peserta belajar.

2. Jenis-Jenis Model Pembelajaran

Joyce (2000) mengemukakan ada empat rumpun model pembelajaran yakni; (1) rumpun model interaksi sosial, yang lebih berorientasi pada kemampuan memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakat. (2) Model pemorosesan informasi, yakni rumpun pembelajaran yang lebih berorientasi pada pengusaan disiiplin ilmu. (3) Model pengembangan pribadi, rumpun model ini lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian peserta belajar. Selanjutnya model (4) behaviorism Joyce (2000:28) yakni model yang berorientasi pada perubahan prilaku. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran pendidikan agama Islam, diantaranya adalah: model classroom meeting, cooperative learning, integrated learning, constructive learning, inquiry learning, dan quantum learning. Pembahasan lebih lanjut terhadap model-model tersebut, disajikan pada bagian berikut ini.

a. Model Classroom Meeting

Ahli yang menyusun model ini adalah William Glasser. Menurut Glasser dalam Moejiono (1991/1992: 155) sekolah umumnya berhasil membina prilaku ilmiah, meskipun demikian adakalanya sekolah gagal membina kehangatan hubungan antar pribadi. Kehangatan hubungan pribadi bermanfaat bagi keberhasilan belajar, agar sekolah dapat membina kehangatan hubungan antar pribadi, maka dipersyaratkan; (a) guru memiliki rasa keterlibatan yang mendalam, (b) guru dan siswa harus berani menghadapi realitas, dan berani menolak prilaku yang tidak bertanggung jawab, dan (c) siswa mau belajar cara-cara berprilaku yang lebih baik. Agar siswa dapat membina kehangatan hubungan antara pribadi, guru perlu menggunakan strategi mengajar yang khusus. Karakteristik PAI salah satunya adalah untuk menghantarkan peserta didik agar memiliki kepribadian yang hangat, tegas dan santun. Model pembelajaran ini dapat dipertimbangkan.

Model pertemuan tatap muka adalah pola belajar mengajar yang dirancang untuk mengembangkan (1) pemahaman diri sendiri, dan (2) rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan kelompok. Strategi mengajar model ini mendorong siswa belajar secara aktif. Kelemahan model ini terletak pada kedalaman dan keluasan pembahasan materi, karena lebih berorientasi pada proses, sedangkan PAI di samping menekankan pada proses tetapi juga menekankan pada penguasan materi, sehingga materi perlu dikaji secara mendalam agar dapat dipahami dan dihayati serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Model Cooperative Learning

Era global bukan hanya menuntut kualitas kemampuan memecahkan masalah, tetapi juga menuntut kemampuan untuk bekerja sama. Untuk mengem-bangkan kemapuan bekerja sama dan memecahkan masalah dapat menggunakan model cooperative learning. Model ini dikembangakan salah satunya oleh Robert E. Slavin (Johnson, 1990). Model ini membagi siswa dalam kelompok-kelompok diskusi, di mana satu kelompok terdiri dari 4 atau 5 orang, masing-masing kelompok bertugas menyelesaikan/memecahkan suatu permasalahan yang dipilih.

Beberapa karakteristik pendekatan cooperative learning, antara lain:

1) Individual Accountability, yaitu; bahwa setiap individu di dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok, sehingga keberhasilan kelompok sangat ditentu-kan oleh tanggung jawab setiap anggota.

2) Social Skills, meliputi seluruh hidup sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengekangan diri dan pengarahan diri demi kepentingan kelompok. Keterampilan ini mengajarkan siswa untuk belajar memberi dan menerima, mengambil dan menerima tanggung jawab, menghor-mati hak orang lain dan membentuk kesadaran sosial.

3) Positive Interdependence, adalah sifat yang menunjukkan saling keter-gantungan satu terhadap yang lain di dalam kelompok secara positif. Keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh peran serta anggota kelompok, karena siswa berkolaborasi bukan berkompetensi.

4) Group Processing, proses perolehan jawaban permasalahan dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.

Langkah-langkahnya:

1) Guru merancang pembelajaran, mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Guru juga menetapkan sikap dan keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dapat dikembangkan dan diperlihatkan oleh siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Guru dalam merancang materi tugas-tugas yang dikerjakan bersama-sama dalam dimensi kerja kelompok.

2) Dalam aplikasi pembelajaran di kelas, guru merancang lembar observasi kegiatan dalam belajar secara bersama-sama dalam kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi, pemahaman dan pendalamannya akan dilakukan siswa ketika belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Pemahaman dan konsepsi guru terhadap siswa secara individu sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang terbentuk.

3) Dalam melakukan observasi kegiatan siswa, guru mengarahkan dan membimbing siswa baik secara individual maupun kelompok, dalam pemahaman materi maupun mengenai sikap dan perilaku siswa selama kegiatan belajar.

4) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Guru juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatihkan kepada para siswa.

c. Model Integrated Learning

Hakikat model pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun kelompok untuk aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi topik/tema menjadi pengendali di dalam kegiatan belajar sekaligus proses dan isi berbagai disiplin ilmu/mata pelajaran/pokok bahasan secara serempak dibahas. Konsep tersebut sesuai dengan beberapa tokoh yang mengemukakan tentang model pembelajaran terpadu seperti berikut ini:

Rancangan pembelajaran terpadu secara eksplisit merumuskan tujuan pembelajaran. Dampak dari tujuan pengajaran dan pengiringnya secara langsung dapat terlihat dalam rumusan tujuan tersebut. Pada dampak penggiring umumnya, akan membuahkan perubahan dalam perkembangan sikap dan kemampuan berfikir logis, kreatif, prediktif, imajinatif. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997: 3)

Pembelajaran terpadu salah satu diantara maksudnya juga adalah memadukan pokok bahasan atau sub pokok bahasan antar bidang studi, atau yang disebut juga lintas kurikulum, atau lintas bidang studi (Maryanto, 1994:3), atau interdiciplinerary programe (Curriculum Services Branch Tasmania, 1994:2). Tyler (Oliva, 1992:517) mengemukakan “…integration as the horizontal relationship of curriculum experiences” dan manfaat keterpaduan menurut Taba (Oliva, 1992: 517) “…learning is more effective when facts and principles from one field can related to another, especially when applying this knowledge…”. Pembelajaran akan lebih efektif apabila guru dapat menghubungkan atau mengintegrasikan antara pelaksanaan pembelajaran di sekolah dengan temuan di lapangan. Oleh karena itu tugas guru menurut Oliva (1992:517) adalah “Curriculum workers should concern themselves with the problem of integrating subject matter”.

Ciri-ciri pembelajaran terpadu:

1) Holistik, suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam dalam pembelajaran terpadu dikaji dari beberapa bidang studi/pokok bahasan sekaligus untuk memahami fenomena dari segala sisi.

2) Bermakna, keterkaitan antara konsep-konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari dan diharapkan siswa mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam kehidupannya.

3) Aktif, pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan diskoveri inkuiri. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, yang tidak secara langsung dapat memotivasi siswa untuk belajar.

Prinsip untuk menggali tema:

1) Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak bidang studi/pokok bahasan.

2) Tema harus sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi pembelajar

3) Tema dipilih juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar

4) Tema harus bermakna artinya yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya.

Evaluasi yang menggunakan tes bentuk formal dimaksudkan untuk menentukan sejauhman siswa telah menghafal suatu fakta. Pembelajaran yang efektif sebaiknya menekankan pemhaman konsep dan kemampuan di bidang kognitif, keterampilan, sosial dan afektif. Beberapa alternatif evaluasi pembelajaran terpadu antara lain:

1) Sebaiknya berbasis unjuk kerja sehingga selain memanfaatkan penilaian produk, penilaian terhadap proses, perlu mendapat perhatian yang lebih besar.

2) Setiap langkah evaluasi hendaknya siswa dilibatkan

3) Eavaluasi dilakukan secara terus menerus, oleh karena itu hendaknya dimanfaatkan portofolio assessment.

4) Penilaian pembelajaran terpadu hendaknya memandang siswa sebagai satu kesatuan yang utuh.

5) Evaluasi hendaknya bersifat komprehensif dan sistematis.

d. Model Constructivist Learning

Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri (self-regulation). Dan akhirnya proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, 1993:24, Driver & Leach, 1993:104).

Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mecapai kesimbangan. Peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan selama siswa menerima pengetahuan baru.

Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal yang baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsep awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Melalui proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, siswa dapat memodifikasi struktur kognisinya menuju kesimbangan sehingga terjadi asimilasi. Namun tidak menutup kemungkinan siswa mengalami "jalan buntu" (tidak mengerti) karena ketidak- mampuan berakomodasi. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi lain.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam merancang model pembelajaran konstruktivisme adalah:
1) Mengakui adanya konsep awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
2) Menekankan pada kemampuan minds-on dan hands-on
3) Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konsep-tual
4) Mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif
5) Mengutamakan terjadikan interaksi sosial

Tahapan model pembelajaran ini, meliputi:

Alur Model Pembelajaran Konstruktivisme

Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena yang seri ditemui sehari-hari dengan mengkaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pema-hamannya tentang konsep itu.

Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemu-kan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginter-pretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Secara berke-lompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam disekelilingnya.

Tahap ketiga, siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru, maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepnya.

Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di lingkungannya.

e. Model Inquiry Learning

Model inkuiri dapat dilakukan melalui tujuh langkah yaitu: (a) merumuskan masalah, (b) merumuskan hipotesis, (c) mendefinisikan istilah (konseptualisasi), (d) mengumpulkan data, (e) penyajian dan analisis data, (f) menguji hipotesis, (g) memulai inkuiri baru. James Bank (dalam Suniti, 2001: 58) Selain dari pendapat para ahli di atas mengenai langkah-langkah model inkuiri social, Joyce mengemukakan bahwa langkah-langkah penerapan inkuiri pada pokoknya adalah (a) orientasi, (b) hipotesis, (c) definisi, (d) eksplorasi, (e) pembuktian, (f) generalisasi. (Joyce, 2000: 110)

Pendapat Joyce mengenai langkah-langkah inkuiri sosial tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tahap pertama
Menetapkan masalah sebagai pokok bahasan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan dan dibatasi dalam ruang lingkup yang tidak luas

Tahap kedua
Mencari beberapa hipotesis dan merumuskan hipotesis yang diajukan sebagai acuan dalam inkuiri, serta yang dapat diujikan

Tahap ketiga: Definisi
Ekspremen, Menjelaskan dan menguraikan istilah-istilah yang ada dalam rumusan hipotesis

Tahap keempat Eksplorasi
Menguji hipotisis dengan logika deduksi,yaitu
menghubungkan hipotesis

Tahap ke lima: Pembuktian
Membuktikan hipotesis dengan fakta-fakta

Tahap keenam:
Generalisasi Menyatakan pemecahan yang dapat digunakan

f. Model Quantum Learning

Quantum Learning merupakan pengubahan berbagai interaksi yang ada pada momen belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur belajar yang efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. (De Potter, 1999:5) Dari kutipan tersebut diperoleh pengertian bahwa pembelajaran quantum merupakan upaya pengorgani-sasian bermacam-macam interaksi yang ada di sekitar momen belajar.

Pembelajaran dikiaskan sebagai suatu simfoni yang terdiri dari berbagai alat musik sebagai unsurnya dan guru merupakan kunduktor sebuah simfoni. Guru berusaha mengubah semua unsur itu menjadi simfoni yang indah bagi semua orang di kelasnya.

Asas utama Pembelajaran Quantum adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Dari asas tersebut tersirat bahwa untuk melaksanakan suatu pembelajaran diperlukan pemahaman yang cukup tentang audience kita. Dengan begitu akan memudahkan semua proses pembelajaran itu sendiri. Pemahaman itu amat penting karena setiap manusia memiliki dinamikanya sendiri. Dan siswa sebagai manusia telah dibakali dengan berbagai potensi untuk berkembang.

Prinsip-Prinsip pembelajaran Quantum:

1) Segalanya berbicara. Segala seuatu yang ada di lingkungan kelas sampai body language dapat digunakan untuk pembelajaran. Mulai dari kertas yang dibagikan kepada siswa hingga rancangan pelajaran dapat digunakan untuk mengirim pesan belajar.

2) Segalanya bertujuan. Semua yang terjadi di kelas atau dalam proses pengubahan, memiliki tujuan.

3) Pengalaman sebelum pemberian nama. Otak manusia berkembang karena adanya rangsangan yang kompleks, yang mendorong rasa ingin tahu. Pembelajaran yang baik adalah yang diawali rasa ingin tahu, dimana anak memperoleh informasi tentang sesuatu sebelum mengetahui namanya.

4) Akui setiap saat. Pembelajaran merupakan proses yang mengandung resiko karena mempelajari seuatu yang baru, biasanya tidak nyaman dan ketika mereka mulai langkah untuk belajar, mereka harus dihargai.

5) Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan (diselenggarakan). Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Dari prinsip ini tersirat bahwa kecerian para siswa sejak awal masuk kelas dapat mendorong kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.

Sebagai sebuah simfoni, pembelajaran quantum memiliki banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman belajar. Unsur itu dibagi menjadi dua kategori yaitu Konteks dan Isi.

Konteks merupakan latar untuk pengalaman diantaranya lingkungan yang berisi keakraban, suasana yang mencerminkan semangat guru dan murid, Landasan yaitu keseimbangan kerjasama antara alat pelajaran dan siswa, Rancangan yaitu interpretasi guru terhadap pelajaran.

Bagian Isi merupakan bagian yang tak kalah penting dengan bagian konteks. Pada bagian Isi ini materi pelajaran merupakan not-not lagu yang harus dimainkan. Salah satu unsur dalam bagian isi ini adalah bagaimana tiap tahap musik itu dimainkan atau bagaimana pelajaran disajikan (penyajian). Isi juga meliputi keterampilan guru sebagai sang maestro untuk memfasilitasi pembelajaran dengan memanfaatkan bakat dan potensi setiap siswa. Keajaiban pengalaman akan terbuka bila konteksnya tepat.


Kerangka Rancangan Pembelajaran Quantum

Dengan dasar prinsip-prinsip di atas maka dapatlah disusun kerangka rancangan Pembelajaran Quantum sebagai berikut:
1) Tumbuhkan minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman tentang apa manfaat setiap pelajaran bagi diri siswa dan Manfaatkan kehidupan siswa, atau “Apakah manfaatnya Bagiku” (AMBAK).
2) Alami: Buatlah pengalaman umum yang dapat di mengerti oleh semua siswa.
3) Namai: Guru harus menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebagai masukan.
4) Demonstrasikan: Sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka sudah ketahui.
5) Ulangi: Guru harus menunjukkan cara mengulangi materi dan menegas-kan ”Aku Tahu Bahwa Aku Memang Tahu”.
6) Rayakan: Guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyele-saian, partisipasi dan pemerolehan keterampilan dan pengetahuan siswa.

Landasan Psikologis Pembelajaran Quantum.

Pembelajaran Quantum merupakan pembelajaran yang berfokus kepada siswa (student centre). Hal ini terlihat dari prinsip utamanya dan prinsip lainnya yang berdasar kepada landasan–landasan psikologis dan sistem kerja otak seperti dijelaskan oleh Meisenzahl (2003): “Quantum learning is a teaching methodology based on 20 years of research about how the brain works”. Landasan psikologis yang melatarbelakangi pembelajaran quantum adalah sebagai berikut:

1) Metode Sugestiologi

Quantum Teaching pada dasarnya bertumpu kepada Quantum Learning yang dikembangkan dari pemikiran “suggetiology” yang dikemukakan oleh Lozanov dalam De Potter dan Hernacky (1999:14) berprinsip bahwa: “Sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun dapat memberikan sugesti positif atau negatif”. Metode sugestiologi yang dikenal sebagai “accelerated learning” menunjukan bahwa pengaruh guru sangat besar dan jelas terhadap keberhasilan siswa. Sugesti memiliki kekuatan yang sangat besar dan mendalam. Sugesti sering digunakan dalam periklanan dengan bahasa verbal dan tubuh. Meskipun tidak secara sadar kita mengingat sugesti, otak akan berperan sebagai sponsor yang menyerap informasi lebih cepat dari yang kita bayangkan. Berdasarkan pemikiran tersebut hampir dapat dipastikan bahwa setiap detail belajar sangat berarti, mulai dari nada suara, penggunaan musik, pengaturan kursi sampai lingkungan belajar.

2) Psikologi daya

De Potter dalam Nggermantos (2001) berpendapat “Setiap orang memiliki potensi otak yang sama besar dengan Einstain, tinggal bagaima-na kita mengolahnya”. Selanjutnya bila seseorang dapat mengenali tipe belajarnya yang sesuai maka belajar akan terasa sangat menyenangkan dan memberikan hasil yang optimal. Lebih jauh Diamon dalam De Potter (1999) mempertegas pendapat tersebut, dengan menyimpulkan bahwa “Pada umur berapapun sejak lahir sampai mati ada kemungkinan dapat meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan”.

Berbagai penjelasan di atas dapat diketahui betapa pentingnya lingkungan belajar sebagai pemberi stimulus. Lingkungan memberikan konstribusi sangat besar terhadap hasil belajar setiap orang di setiap usia. Stimulus yang diberikan lingkungan sangat menentukan perkembangan dan kemajuan yang dicapai. Besarnya pengaruh stimulus terhadap perkembangan seseorang, didukung Pendapat Pulos yang menyatakan: “Certain types of stimulations not only change the chemistry of brain but can actually increase brain cells and brain size and dramatically boost intelligence”. Dari pendapat itu jelas bahwa semakin banyak rangsangan terhadap otak dengan aktifitas yang sesuai semakin banyak jaringan sel yang tersambung dan potensi atau kemampuan seseorang akan semakin berkembang.

Perkembangan dapat terjadi karena otak kita berbicara dalam 4 bahasa elektrik yang menggambarkan tingkat kesadaran, metoda mem-proses dan mempelajari informasi baru. Menurut Pulos empat jenis bahasa elektrik tersebut adalah gelombang Beta yang bergerak dengan kecepatan 13-100 Hz pada saat terjaga dan konsentrasi, gelombang Alpa 8-12 Hz dalam keadaan pasif atau tenang secara pisik, gelombang Theta 4-8 Hz pada saat mimpi yang tak diharapkan atau bayangan masa kecil, gelombang Delta 0,5 - 4 Hz dalam keadaan tidur yang merupakan dasar paling dalam kesadaran.

Aktifitas yang paling cepat dari gelombang otak adalah pada saat gelombang Beta bergerak ketika mata berinteraksi dengan dunia luar, dalam keadaan waspada dan berkonsentrasi. Hal tersebut sangat diperlukan demi efektifitas belajar. Perkembangan potensi manusia Menurut Zohar dalam Vella (2003) dapat terjadi karena didalam otak terdapat energy (quanta) yang dapat digunakan untuk berpikir dengan mengaktifkan semua bagian otak. “We can do quantum thinking by using a neural network of networks, the whole brain, creatively projecting, predicting, describing, envisioning, inventing”. Dengan mengaktifkan semua bagian jaringan saraf pada semua bagian otak, berpikir quantum dapat dilakukan. Aktifitas berpikir quantum seperti proyeksi kreatif, menebak, menjelaskan, membayangkan, menemukan dapat menjadi alat pemicu perkembangan kemampuan dan potensi setiap orang.

3) Modalitas belajar

Otak manusia terdiri dari tiga bagian yang merupakan modalitas untuk memproses rangsangan yang datang dari luar. Modalitas tersebut adalah visual, auditorial, kinestic yang merupakan saluran komunikasi yang membantu memahami dunia luar. Menghadirkan kegiatan yang co-cok dengan modalitas akan memperkuat penerimaan siswa. Lebih jauh menurut Pulos dengan mengaktifkan semua bagian otak melalui pende-katan Stimulation Multysensory pada proses belajar, siswa akan lebih terfokus dan berhasil dibanding dengan pendekatan Passive-Receptive pada setting kelas pada umumnya.

Penjelasan di atas menunjukkan betapa pentingnya mengenali per-bedaan gaya belajar siswa dan menyesuaikan pembelajaran dengan mo-dalitas siswa meskipun cukup sulit untuk melakukannya. Hal penting yang dapat dijadikan pegangan dalam menyesuaikan pembelajaran dengan per-bedaan modalitas siswa adalah bahwa setiap orang berkemampuan untuk belajar dan mereka belajar dengan cara yang berbeda (Meisenzahl, 2003)

4) Multi Intelegence

Mitos bahwa intelegensi manusia tidak berubah ternyata dibuktikan salah oleh Gardner dari Harvard setelah melakukan riset tentang kecer-dasan manusia. Ia menyatakan bahwa IQ hanyalah salah satu kecerdasan manusia karena manusia memiliki multi intelegensi sebagai potensi yang sangat besar. Potensi itu terdiri dari kecerdasan logis-matematis, kecerda-san linguistik, verbal, kecerdasan kinestik, kecerdasan emosional (inter-personal dan intrapersonal), kecerdasan naturalist, kecerdasan intuisi, kecerdasan moral, kecerdasan eksistensial, kecerdasan spiritual. Dapat dibayangkan begitu banyaknya potensi yang terkandung pada diri siswa namun betapa tidak mudahnya untuk mengenalinya, apalagi mengguna-kannya untuk mengakses keberhasilan mereka di dalam kelas. Namun dalam pendekatan quantum semua potensi itu harus digunakan seperti menurut Zohar dalam Vella (2003): “Quantum learning is that which uses all of the neural networks in the brain, putting things together in idiosyncratic and personal ways to make significant meaning”. Dalam upaya menggunakan semua potensi itu haruslah berpegang kepada prinsip seperti menurut Meisenzahl (2003) sebagai berikut:
- Setiap orang berkemampuan untuk belajar.
- Setiap orang belajar dengan cara yang berbeda.
- Keyakinan sangat penting bagi keberhasilan seseorang.
- Penghargaan dan perhatian bagi tiap individu adalah penting.
- Belajar akan lebih effektif bila disajikan dalam keceriaan dan ling-kungan yang menantang.
- Rasa aman dan percaya antara guru dan siswa merupakan bagian proses belajar yang penting.
- Guru harus menunjukan semagat dan antusiasme untuk belajar.

Quantum Learning dimulai dari Super Camp, sebuah program akselerasi belajar yang memperkenalkan tiga keterampilan dasar, yakni keterampilan akademis, prestasi fisik, dan keterampilan hidup. Menurut penlitian, hasilnya demikian impresif. Setelah mengikuti kegiatan ini, motivasi belajar siswa meningkat, dan keterampilan belajar pun berkembang.

C. Aspek-aspek kunci dari Model Pembelajaran yang Efektif

Implementasi dari berbagai model yang dikemukkan di atas, setpdaknya harus memperhatikan minimal lima aspek dari pembelajaran yang secara konsisten didukung riset, baik dalam penelitian-penelitian langsung maupun hasil-hasil penelitian yang direviu, sebagai indikator pembelajaran yang efektif. Kelima aspek tersebut adalah kejelasan, variasi, orientasi tugas, keterlibatan siswa dalam belajar, dan pencapaian kesuksesan yang tinggi. Penjelasan singkat akan disajikan pada tiap indikator pembelajaran efektivitas untuk membantu guru/tenaga kependidikan mengetahui bagaimana melaksanakannya ke dalam pembelajaran di kelas.

1. Kejelasan (Clarity).

Seorang guru yang ingin menyajikan informasinya secara jelas berarti dia harus menyajikan informasi tersebut dengan cara-cara yang dapat membuat siswa mudah memahaminya. Dalam literatur riset ada dua pendekatan berbeda yang dapat digunakan untuk mengkaji kejelasan guru. Pendekatan yang pertama menguraikan kejelasan dalam kaitan dengan penyajian informasi oleh guru bahwa apa yang dilakukan guru dapat mempermudah pemahaman siswa. Pendekatan ini sering mengacu pada kejelasan kognitif, dan agar jelas secara kognitif, anda harus:
• menjelaskan kepada siswa apa yang mereka mau pelajari atau lakukan
• menyajikan isi pelajaran dalam suatu urutan logis
• menyajikan isi pelajaran ke suatu langkah yang pantas
• memberi penjelasan yang dapat dipahami siswa
• menggunakan contoh yang sesuai ketika menjelaskan
• menekankan poin-poin penting
• menjelaskan kembali berbagai hal jika para siswa masih mengalami ke-bingungan
• menjelaskan makna dari kata-kata baru
• memberikan waktu kepada siswa untuk memikirkan informasi baru
• menjawab pertanyaan siswa dengan memuaskan
• bertanya ke siswa untuk memeriksa pemahamannya
• memberi ringkasan yang cukup dari poin-poin utama isi pelajaran itu.

Pendekatan kedua menguraikan kejelasan dalam kaitan dengan berbagai hal yang dikatakan guru kepada siswanya. Umumnya riset memusatkan pada berbagai hal di mana pesan yang disampaikan guru belum jelas (seperti penggunaan ungkapan samar-samar seperti "banyak", atau menggunakan kalimat tidak sempurna). Tidaklah mengejutkan, aspek kejelasan ini sering dipacu sebagai kejelasan verbal atau samar-samar.

Walaupun Land, 1987 (dalam Killen, 1998) mempertimbangkan kedua-duanya: ketidakjelasan dan kejelasan: menjadi aspek variabel umum yang sama. Cruickshank dan Kennedy, 1986 (dalam Killen, 1998) menyatakan bahwa kedua hal itu adalah gejala yang sungguh beda. Mungkin ada baiknya kalau pembicaraan yang jelas dan samar-samar menjadi bagian penting dari perilaku guru, diacu sebagai kejelasan kognitif. Ini bisa dipertimbangkan bahwa jika anda memberi siswa penjelasan yang jelas mengenai sesuatu, anda perlu menggunakan pola bahasa dan ungkapan yang tidak membingungkan mereka. Ada sejumlah usul dalam literatur riset bahwa hubungan antara kejelasan kognitif dan prestasi siswa adalah lebih kuat ketimbang hubungan antara kejelasan verbal dengan prestasi siswa (Hines, 1981; dalam Killen, 1998). Bagaimanapun, sumber pustaka riset belum menyediakan, dan kejelasan kognitif, meskipun ada riset terbaru di area inii sebenarnya telah cukup memberikan cukup bukti.

Kejelasan presentasi telah ditunjukkan untuk secara positif mempengaruhi prestasi siswa (Land, 1981; Hines, Cruickshank& Kennedy, 1985; dalam Killen, 1998) dan kepuasan siswa atas pembelajaran mereka. Kejelasan presentasi itu merupakan suatu aspek dari pembelajaran yang dapat diperbaiki dengan cara yang relatif mudah dan merupakan salah satu cara di mana umpan balik dari para siswa dapat diperoleh dengan mudah; teknik untuk melakukan ini diuraikan Killen ( 1998).

2. Variasi (Variety).

Variasi guru, atau variabilitas, merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan perubahan–perubahan yang sengaja dibuat guru saat menyajikan materi pelajaran. Variasi guru meliputi hal-hal seperti:
• Merencanakan berbagai variasi metode mengajar
• Menggunakan berbagai strategi bertanya
• Memberikan reinforcement dengan berbagai cara
• Membawa aktivitas belajar siswa
• Menggunakan berbagai tipe media pembelajaran.

3. Orientasi Tugas (Task Orientation).

Karakteristik utama dari pembelajaran langsung adalah pengorganisasian dan penstrukturan lingkungan belajar secara baik di dalam aktivitas guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, di mana guru dan siswa bekerja dalam bingkai yang sistematik. Orientasi tugas yang dilakukan guru terkait dengan:
• Membantu siswa untuk mencapai hasil belajar yang spesifik.
• Memungkinkan siswa untuk belajar mengenal informasi yang relevan
• Mengajukan pertanyaan untuk membuka pemikiran siswa
• mendorong siswa untuk berpikir dengan bebas, dan
• keberhasilan tujuan kognitif siswa.

Dalam keadaan ini, interaksi kelas cenderung berfokus pada isi yang bersifat intelektual dan tujuan yang sudah dikenalkan – merupakan faktor yang Rosenshine, 1983, dan Spady, 1994 (dalam Killen, 1998) sebut pemberian peluang kepada siswa untuk berhasil.

Orientasi keberhasilan tugas pada dasarnya persoalan manajemen kelas. Orientasi keberhasilan tugas ini menghendaki guru memonitor aktivitas para siswa secara terus menerus, dan mendorong siswa untuk terlibat secara konstruktif dalam perumusan tujuan pembelajaran. Orintasi tugas dapat dipandang sebagai gambaran kunci dari pembelajaran langsung (Powell, 1978, dalam Killen, 1998) karena orientasi tugas menekanan pada penentuan sasaran belajar yang jelas, pem-belajaran aktif, menutup monitoring kemajuan siswa, dan tanggung jawab guru terhadap belajar siswa.

Walaupun orientasi tugas di mana guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk belajar, tidak menjamin bahwa siswa akan benar-benar disibukkan dengan pelajaran selama pelajaran berlangsung. Baik Berliner, 1979 dan Fisheret al.., 1980 (dalam Killen, 1998) melaporkan bahwa ketiadaan keterlibatan siswa dengan pelajaran (atau pelepasan dari ikatan pelajaran selama pelajaran berlangsung) dapat menjadi hasil yang emosional atau gangguan mental dari suatu pelajaran, dan mungkin atau tidak mungkin menjadi jelas bagi guru.

4. Keterlibatan siswa dalam Pembelajaran (Engagement in learning).

Pentingnya keterlibatan siswa dalam belajar diilustrasikan secara baik dalam reviu yang dilakukan Brophy dan Good (1986, dalam Killen, 1998). Mereka mengusulkan untuk menolak semua temuan-temuan dalam reviu riset mereka mengenai perilaku guru dan prestasi siswa yang ada di mana keberhasilan belajar dipengaruhi oleh sejumlah waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan tugas akademik yang sesuai. Kesimpulan ini mendukung temuan Stallings dan Mohlman 1981 (dalam Killen, 1998) di mana guru yang efektif menggunakan waktu mereka dengan cara yang berbeda dari guru yang tidak efektip. Dalam studi itu, guru efektif menghabiskan kurang dari 15% lebih waktu di dalam interaksi pembelajaran dan 35% lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk memonitoring kegiatan-kegiatan siswa dibanding guru yang tidak efektip. Salah satu dari kesimpulan yang dapat ditarik melalui Stallings dan Mohlman adalah bahwa penggunaan waktu yang sesuai oleh guru dapat memaksimalkan waktu siswa untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan, oleh karena itu, berkontribusi pada keberhasilan siswa.

Sejumlah teknik untuk meminimalkan keterlibatan siswa juga memiliki dukungan riset. Sebagai contoh, Brophy Dan Evertson, 1974 (dalam Killen, 1998) menunjukkan bahwa mengajar merupakan sistem kelas yang aturannya memun-gkinkan para siswa untuk mengindahkan berbagai hal mengenai persoalan pribadi dan prosedural tanpa butuh izin guru, untuk selanjutnya mendorong siswa tetap terlibat semaksimal mungkin dalam menggunakan waktu belajarnya. Senada dengan itu, Soar & Soar, 1973 (dalam Killen, 1998) menyatakan bahwa para guru semestinya menggunakan teknik seperti penulisan rencana kerja sehari-hari pada papan tulis, agar para siswa tahu mengenai apa yang harus diperbuat tanpa arahan lisan secara reguler dari guru. Untuk memelihara keterlibatan, adalah penting bagi guru untuk memonitor tempat duduk siswa agar bekerja dengan bebas, dan untuk mengkomunikasikan kepada siswa akan kemajuan mereka (Mcdonald et al..., 1975, dalam Killen, 1998). Tentu saja, ada ketentuan dasar sederhana: jika guru mau siswanya memperhatikan dan terlibat dalam pelajaran, guru harus menjelaskan kepada mereka apa yang guru harapkan dari mereka untuk dilakukan dan guru harus membuatnya mudah dan menarik bagi siswanya untuk melakukannya. Jika para siswa tahu apa yang menjadi tujuannya, dan jika mereka tahu bahwa tujuan itu bermanfaat serta dapat dicapai, maka mereka akan terlibat dalam pelajaran.

Jika siswa terlibat dalam tugas-tugas pembelajaran, seperti pemecahan masalah, maka dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Beberapa penelitian (seperti yang dilakukan Fisher, et al..., 1980, dalam Killen, 1998) menunjukkan bahwa teknik pembelajaran yang memungkinkan siswa mengalami aktivitas kelas yang tinggi menghasilkan keberhasilan kategori sedang dan tinggi (seperti pemecahan masalah) dalam test berikutnya dibanding dengan pembelajaran dengan aktivitas yang rendah.

5. Pencapaian Kesuksesan Siswa yang Tinggi (Student Success Rates).

Pembelajaran yang sukses menghasilkan prestasi siswa, adalah hal yang penting karena bisa menjadi kekuatan pendorong (Ausubel, 1968) dan dapat mendorong kearah kekaguman diri yang tinggi dan sikap pada sekolah yang positif (Bennett, Desforges, Cockbum& Wilkinson, 1981; Wyne& Stuck, 1982, dalam Killen, 1998). Seperti halnya penguasaan isi pelajaran, laju pencapaian hasil belajar darii yang sedang ke tinggi berdasarkan tugas-tugas belajar memungkinkan para siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam aktivitas kelas, seperti menjawab pertanyaan dan memecahkan permasalahan. Dalam hal ini, kesuksesan mendorong keterlibatan lebih lanjut dalam belajar.

Mutu pembelajaran sering tertuju pada mutu lulusan, tetapi merupakan kemustahilan sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, kalau tidak melalui proses pembelajaran yang bermutu pula. Lebih lanjut juga merupakan kemus-tahilan, terjadi proses pembelajaran yang bermutu kalau tidak didukung oleh personalia (pimpinan/manajer, adminitrastor, dan guru) yang bermutu (profesional), sarana-prasarana pendidikan, fasilitas, media, dan sumber belajar yang memadai (baik kualitan maupun kuantitasnya), biaya yang mencukupi, manejemen yang tepat serta lingkungan yang mendukung

D. Penutup

Kemampuan memilih model pembelajaran yang tepat bagi siswanya merupakan salah satu tugas dan tanggungjawab guru profesional. Guru profesional akan selalu tanggap terhadap tuntutan dan kebutuhan belajar siswanya. Tuntutan dan kebutuhan belajar siswa dewasa ini, minimal dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual.

Belajar yang memperkenalkan tiga keterampilan dasar, yakni keterampilan akademis, keterampilan fisik, dan keterampilan hidup. Hasilnya menurut beberapa penelitian demikian impresif. Siswa setelah mengikuti kegiatan model-model pembelajaran tersebut, menunjukkan motivasi belajarnya meningkat, dan keterampilan belajar pun berkembang. Memilih model yang tepat merupakan persyaratan untuk membantu siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Para guru dan tenaga pengajar lain perlu menguasai macam-macam model perbelajaran, baik teoritik maupun praktek, yang meliputi aspek-aspek, konsep, prinsip, dan teknik.

Model pembelajaran berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan belajar siswa. Jika tenaga pengajar menggunakan model pembelajaran sebagai suatu strategi mengajar dalam pembelajaran, hendaknya memperhatikan lima aspek kunci dari pembelajaran yang efektif, yaitu: (1) kejelasan, (2) variasi, (3) orientasi tugas, (4) keterlibatan siswa dalam belajar, dan (5) pencapaian kesuksesan yang tinggi.

Demikian sekedar bahan untuk didiskusi tentang beberapa model pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada Pendidikan Islam yang dapat mengembangkan kecerdesan peserta belajar. Dengan catatan tidak ada model pembelajaran yang terbaik untuk dilaksanakan, namun yang ada adalah pilihlah model pembelajaran yang paling tepat dengan tujuan dan karakteristik materi yang akan disampaikan serta karakteristik tuntutan peserta belajar yang menjadi subjek pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Beane, A. J. (1995). Integrated Curriculum in the Middle School. ERIC Digest. [Oline]. Tersedia: http://www.ericfacility.net/ericdigests/ed351095.html. 30 juni 2003
Borg, WR & Gall, MD. (1979) Educational Research An Introduction. New York: Longman Inc.
Briggs, Lesslie. (1978). Instructional Design. New Jersey: Ed. Techn. Publ.
Collin, G. dan Dixon, H (1991) Integrated Learning. Australia: Bookshelf Publishing.
Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
De Potter, B. (1998). Quantum Learning. Boston: Allyn & Baccon
De Potter, B, Mark R & Sarah S. N. (1990). Quantum Teaching: Orchestrating Student Success. Boston: Allyn & Baccon.
Departemen Agama RI, (1995), Pola Pembinaan Agama Islam Terpadu, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1996/1997). Tim Pengembang PGSD Pembelajaran Terpadu D.II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar. Jakarta: Dikti.
Fogarty, F. (1991) How to Integrate the Curricula. Skyligh Publisisng Inc. Polatine Illions
Gabel, D.L.(editor). (1999). Handbook of Research on Science Teaching and Learning. A Project of the National Science Teachers Association. Macmillan Publishing Company: New York.
Gage, N.L. (1964), Handbook of Research on Teaching. Chicago: Rand McNally
Gange, R.M., (1992) Principles of Instructinal Design. (2nd ed.) New York: Holt, Illions.
Hadi, T. & Herawati, I., S. (1990) Modul Pembelajaran Terpadu, Jakarta: Universitas Terbuka
Jarolimek, J. (1986) Social Studies ini Elementry Education, Sevan Edotion, New York: Macmillan Publishing Company
Joni, R. (1996) Pembelajaran Terpadu Naskah: Untuk Pelatihan Guru Pamong, Dirjen Dikti 2-13 Maret 1996
Johnson, David. W. and Frank. P Johnson, (1992) Joining Together Group Theory and Group Skills. 4 th. Ed. Englewood Clft., Ny: Prentice Hall.
Joyce, B., Weill, M. (2000) Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon
Kohelberg, L., (1976), The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Berkly: Cutchan Publ. Co.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002), Pengembangan Kompetensi Lintas Kurikulum. [Online] Tersedia: http://www.puskur.or.id/kurikulum.shtml
Moedjiono. (1991/1992). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Rahmat, J. (1991) Islam Aktual, Bandung: Mizan.
Salamah. (2004) Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Bidang Studi Pendidikan Agama Islam Untuk Meningkatkan Akhlak Siswa pada SMU di Banjarmasin (Tesis: Pasca Sarjana UPI Bandung: Tidak Diterbitkan)
Yager, R.E., (1992) The Constructivist Learning Model: A must for STS Classroom the Sattus of Science Technology Socity. Reform efforts around the world. IOWA University.

1 komentar:

{ Salamah Antasari } at: 26 Oktober 2019 pukul 23.32 mengatakan...

ini tulisan saya, trimakasih telah mengunggahnya

Posting Komentar

 
Pendidikan Agama Islam © 2011 Theme made with the special support of Maiahost for their cheap WordPress hosting services and free support.